Pages

tugas SIM

tugas Sistem Informasi Manajemen dikumpulkan paling lambat tanggal 5 Juli 2011, pukul 21.oo (tepat waktu)

Mengenai Saya

Foto saya
kensya lahir 8 desember 2005

Pengikut

du it with time

Selasa, 28 Juni 2011

galeri nias (1)

galeri foto saat jalan-jalan ke pulau Nias....
wow... nias sangat indah....





Senin, 20 Juni 2011

Sejarah Nias di Abad ke-9 M



Sejarah Nias di Abad ke-9 M
Oleh: Julkifli Marbun

Sejarah Nias belakangan ini sangat jarang ditemukan apalagi tentang hubungannya dengan peradaban Batak. Walau begitu, banyak orang yang yakin dengan kedekatan kedua sub-bangsa ini, apalagi keduanya sama-sama memiliki sistem masyarakat yang bermarga.

Namun, bila kita cermati dengan teliti, ternyata hubungan sosial antara Nias dan Batak begitu sangat dekat. Berbagai sumber sejarah pernah menuliskannya bahkan menggambarkan dengan jelas hubungan antar keduanya.

Sumber Arab, Ahbar as-Shin wa al-Hind, yang diterjemahkan menjadi Relation de la Chines et de l’Inde, yang dikarang pada tahun 851 oleh para ilmuwan Arab, mengatakan bahwa;

“Di laut itu apabila kita berayar ke Ceylon ada pulau-pulau yang tidak banyak jumlahnya, tetapi besar-besar; tak ada keterangan lebih lanjut mengenai pulau-pulau itu; di antaranya ada sebuah yang dinamakan Lambri yang mempunyai beberapa raja, luasnya 8 atau 900 parasangers (persegi). Emasnya banyak dan ada suatu tempat yang dinamakan Fantsur (Barus) yang menghasilkan banyak kamper yang bermutu baik. Pulau-pulau tadi menguasai pulau-pulau lain di sekiranya, ada satu yang namanya Niyan (Nias).

Emas di pulau-pulau itu banyak. Makananya kelapa yang dipakai sebagai penyedap dan sebagai salep. Kalau ada yang mau kawin, ia tidak dapat mempersunting perempuan sebelum memperlihatkan tengkorak salah seorang musuh mereka; kalau dua orang yang dibunuhnya, yang diperistrinya dua perempuan; begitu pula jika 50 orang yang dibunuhnya, diperistri 50 perempuan untuk 50 tengkorak. Sebabnya ialah karena musuh mereka banyak sekali; maka makin berani orang membunuh, makin ia digemari.” (Lihat terjemahan J. Sauvaget, Paris Les Belles Lettres, 1948, hlm. 4, paragraf 6a)

Di sini sangat jelas disebutkan nama Nias. Orang Arab saat itu mengenalnya dengan nama Niyan. Niyan atau Nias seperti yang disebutkan tersebut tunduk pada kekuasaan Fantsour atau Kesultanan Barus saat itu.

Keberadaan orang-orang Nias banyak ditulis dalam sejarah perdagangan di pesisir Batak, Barus maupun Sibolga. Orang-orang Batak banyak yang melakukan perdagangan ke Nias dan begitu juga sebaliknya.

Dari sisi politik formal, Nias masuk dalam Kesultanan Barus saat itu. Hal itu terlihat dari isi Konstitusi Dinasti Pardosi yang mengatakan bahwa Sultan lah yang memiliki pulau dan daratan. Lihat Fasal Jabatan Raja Dalam Negeri, yang isinya adalah:

1. Merintahkan kepada penghulunya dan kepada segala penghulu yang takluk kepadanya
2. Menurun dan Menaikkan orang yang berjabatan pekerjaan raja.
3. Memberi aturan dalam negeri atas kebaikan dan selamatan negeri.
4. mempunyai tanah kebesaran dan tanah kosong yang pada barang yang orang punyai tidak lagi.
5. Nan punya rombo.
6. Nan punya Laut.
7. Nan punya Sungai.
8. Nan punya Pulau.

Posisi Nias dengan tanah Batak, khususnya Kesultanan Barus, seperti di atas tampaknya bertahan sampai abad ke-17 M. Hal itu diperkuat oleh penjelasan orang-orang Belanda yang terselip mengenai hubungan dagang antara kedua negara; Belanda yang diwakili dengan VOC dengan Kesultanan Barus.

Pada tahun 1668 M, orang-orang Belanda mengurus izin berdagang ke pemerintahan Kesultanan Barus. Orang-orang Belanda ingin melakukan transaksi perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Barus yang kaya dengan komoditas-komoditas yang sangat dibutuhkan dunia saat itu.

Pada saat itu terdapat beberapa perusahaan dagang asing yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di Barus. Di antaranya yang terbesar adalah perusahaan dagang yang dimiliki orang Aceh dan juga perusahaan-perusahaan yang dipunyai oleh orang Cina dan warung-warung (toko-toko) mereka yang menyebar sepanjang pantai. Komunitas lainnya adalah komunitas pedagangan pribumi yang pusat-pusat perdagangan mereka tersebar antara Barus dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya, di antaranya Nias.

Menurut laporan VOC, semua komunitas ini membentuk ciri khas masing-masing dengan satu pimpinan yang bertanggung jawab kepada Malim Muara (Captain or Chief of the river mouth) sebuah posisi yang dilantik oleh Sultan.

Menurut Kroeskamp, Barus, Singkel dan Nias merupakan wilayah yang menyatu dalam sebuah simbiose (levensgemeenschap) dan perusahan-perusaan VOC menganggapnya sebagai satu kesatuan karena masing-masing mempunyai keterikatan hubungan satu sama lain. Oleh karena itulah, setelah Kesultanan Barus mengeluarkan izin berdagang kepada “PT” VOC (1672), izin tersebut sudah mencakup kebolehan untuk melakukan aktivitas dagang (ekspor impor) di Singkil (1693) dan Nias (1694) (lihat: Corpus Diplomaticum, vol 4, pp 25-54).

Nias dan Perpolitkan Batak

Orang-orang Nias yang ada di Pulau Nias maupun mereka yang berada di ibukota (Barus), memainkan peran yang sangat penting dalam peta politik dalam negeri Kesultanan Barus.

Diyakini pergolakan maupun konstalasi politik saat itu juga dimainkan oleh orang Nias. Termasuk kompetisi perdagangan, perbudakan, perebutan kekuasaan dan peperangan ke negeri-negeri terpencil serta beberapa intrik politik lainnya.
Oleh karena itulah, negara dalam hal ini Kesultanan Barus tidak sungkan-sungkan untuk menetapkan Nias sebagai sebuah suku dan daerah yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan negara yang tidak terpisahkan.

Dalam naskah Barus- yang dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus- disebutkan bahwa kekuasaan dan pemerintahan Kesultanan Barus mencakup masyarakat yang terdiri dari berbagai bangsa. Di antaranya adalah Bangsa Melayu, Aceh, Rawa, Korinci, Batak Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa, Orang Timur, Hindu (Biasanya berkulit putih), Keling (Tamil) dan Nias. Belum termasuk orang-orang Batak dari dataran tinggi seperti Dairi, Toba, Pasaribu dan orang Batak Silindung.

Semua komunitas-komunitas ini diikat dalam satu kesatuan kewarganegaraan (satulah bangsanya) yang memberi loyalitas dan ketataan kepada kedaulatan Kesultanan Barus yang mencakup beberapa negeri di pesisir Barat Sumatera tersebut.

“Adapun di dalam perintah (kedaulatan dan pemerintahan) Barus itu satulah bangsa orang ada tinggal Melayu, Aceh, Rawa, Korinci (Kerinci), Batak Mandahiling, Angkola, Bugis, Jawa, Orang Timur itu orang semuhanya suda bercampur bagitu juga adatnya dan pakaian, ada juga Hindu, Keling dan Nias.” (Lihat Ibid, Hlm, 32(27)).

(diambil dari : http://sejarah.muslim-nias.org/2009/05/sekeping-potongan-sejarah-nias-pada-abad-ke-9-m/#more-41)

Kudeta Jerman Di Pulau Nias





Judul diatas pastinya sangat menarik. Bagaimana sekelompok orang-orang Jerman yang dianiaya di Hindia Belanda bisa berontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa sejarah ini sangatlah menarik dan banyak orang yang belum mengetahuinya. Sangat menarik bila sejarah kecil ini—La Petite Histoire istilah Rosihan Anwar—ini diangkat sebagai tulisan utuh berbentuk buku. Setidaknya akan memperkaya khazanah Indonesia umukmnya dan Nioas khususnya. Berikut ini hanya sekelumit cerita menarik tentang kudeta orang Jerman terhadap Belanda di Nias.

Pada 19 januari 1942, kapal Van Imhoff meninggalkan Sibolga. Kapal ini mengangkut 477 internir Jerman ke India. Tidak jauh dari pelabuhan muncul pesawat pengintai Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang menjatuhkan bom ke kapal, perlahan kapalpun tenggelam. Seratus sepuluh orang Belanda, awak kapal dan penjaga tawanan Jerman, berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Para tawanan dibiarkan mati konyol di laut. Kapten kapal, sebelum pergi meninggalkan kunci-kunci kepada komandan Jerman yang segera membebaskan para tawanan yang terkurung. Banyak orang Jerman yang panic lalu tenggelam. Salah satunya Walter Spies[1]. Sayangnya sekoci kapal sudah habis disikat orang-orang Belanda. Hanya ada kapal kerja (werkboot) dan sejumlah rakit.[2]

Ledakan bom yang dijatuhkan pesawat pengintai Jepang, menyebabkan banyak ikan laut mati disekitar tenggalamnya kapal, akan mengundang ikan hiu. Karenanya tawanan yang selamat berusaha secepat mungkin meninggalkan puing-puing kapal. Kondisi ini juga membuat sebagian tawanan bunuh diri. Bagi yang bersemangat hidup, berusaha membuat rakit dari puing sisa ledakan. Sekelompok tawanan menemukan sebuah perahu dayaung sepanjang 2-3 meter, perahu lalu diisi 14 orang dipimpin oleh Albert Vehring. Ada 200 orang yang tertinggal dalam kapal. Akhirnya sebuah rombongan dengan 2 perahu dan sebuah rakit, dipimpin oleh Vehring, melihat kapal Belanda bernama Boeloengan. Orang-orang Jerman malang itu mengira akan diselamatkan oleh kapal Belanda. Sayang, setelah bertanya: “apa kalian orang Belanda?” karena merasa tidak digubris, Boeloengan keburu kabur begitu tahu yang dijumpainya adalah Jerman yang akan berbahaya bila sekapal, mengingat Jerman adalah musuh mereka secara politis. Membiarkan musuh mati lebih baik daripada menolongnya.[3]

Hampir semua dari mereka, sampai di Nias ditangkap lalu disekap oleh aparat keamanan Belanda disana. Orang Jerman ini akhirnya dibawa ke Gunung Sitoli.[4] Orang-orang Jerman malang yang berjumlah 67 orang mencapai Nias dalam beberapa rombangan. Salah satu rombongan ada terdampar di Nias Selatan.

Pada hari ke empat, 23 Januari 1942, kondisi mereka semakin payah. Mereka kehausan, lapar, kekeringan serta disiksa terik matahari di pantai nIas yang menanjak. Dalam kondisi frustasi ini seorang berusia 73 tahun bunuh diri. Untung saja, beberapa orang Nias yang bersahabat dan seorang pastur Belanda, Ildefons van Straalen, menolong mereka dengan makanan dan minuman pada sisa-sisa orang Jerman itu.[5]

Sekelompok orang Jerman, berjumlah 35m orang, itu lalu mencapai Hilisimaetano, ibukota Nias Selatan. Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan itu, mereka dirawat sebelum dibawa ke Gunung Sitoli. Disana mereka bertemu dengan kawan-kawan Jerman lainnya dalam tangsi (kazerne).[6]

Terhitung dari 67 orang yang sampai ke Nias, 2 orang tewas, satu tewas karena kecelakaan perahu dan satu sang kakek yang bunuh diri tadi. Sisa dari mereka adalah 65 orang.

Orang-orang Jerman itu dijaga beberapa orang Belanda dan 38 angggota Veldpolitie.[7] Karena Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati 8 Maret 1942, maka pejabat Belanda di Nias bingung, apa yang harus mereka perbuat. Termasuk pada tawanan Jermannya.[8]

Selama dalam tahanan, Vehring bersekongkol dengan polisi Indonesia.[9] Polisi pribumi itu dengan mudah dibujuk itu tidak puas dengan majikannya, Belanda. Mereka lalu merencanakan sesuatu, kudeta atas pulau Nias. Sebuah baku tembak lalu terjadi, dan sejumlah orang Belanda dan Inggris lalu dijadikan kaum internir oleh orang-orang Jerman yang kini berkuasa. Untuk ini Fischer menjadi perdana menteri Nazi Jerman untuk pulau Nias. Karenanya lambing swastika khas Nazi Jerman mereka buat. Sebuah kontak dengan Jepang-pun mereka buat.

Pada 17 April, tentara jepang mendarat di Nias dengan sambutan meriah dari orang-orang Indonesia. Lagu Indonesia raya saat itu dinyanyikan. Mereka semua memberikan heil Hitler. 20 april yang istimewa, ulang tahun sang fuhrer Adolf Hitler, dirayakan dengan meriah oleh orang-orang Fasis tadi—Jerman dan Jepang sekutunya. 21 April, melaui jalur laut, Teluk Dalam diduduki, dan Hilisimaetano keesokan harinya. Pelan-pelan Jepang menjadi penguasa baru atas pula Nias dengan mudah atas usaha kawan Jermannya tadi. Semua orang Jerman lalu meninggalkan pulau Nias menuju Sibolga kecuali dr Heidt yang lalu bunuh diri karena kesepian pada Agustus 1942.


[1] Walter Spies adalah seorang seniman musik dan pulikis. Pernah menjadi dirigen sebuah orkestra musik klasik sebelum menetap di Bali. Dia adalah seorang homoseksual, Gay. (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil: La Petite Histoire, Jakarta, Kompas, 2004. h. 82). Setelah kematiannya, orang tua Walter Spies yang berada di Inggris menuntut ganti rugi setelah perang dengan membuat surat pengaduan. (http://www.bogor.indo.net.id/indonesia tuguperingatanjerman/#atas Diakses tanggal 27 Maret 2007 pukul 08.41.)

[2] Rosihan Anwar, Sejarah Kecil: La Petite Histoire, Jakarta, Kompas, 2004. h. 81.

[3] Pada 20 Juni 1949, Vehring melaporkan kejadian keji itu dengan mengangkat sumpah kepada notaris Bernard Grünewald, di Bielefeld. (http://www.bogor.indo.net.id/indonesia tuguperingatanjerman/#atas Diakses tanggal 27 Maret 2007 pukul 08.41.)

[4] (http://www.bogor.indo.net.id/indonesia tuguperingatanjerman/#atas Diakses tanggal 27 Maret 2007 pukul 08.41.)

[5] (http://www.bogor.indo.net.id/indonesia tuguperingatanjerman/#atas Diakses tanggal 27 Maret 2007 pukul 08.41.)

[6]Rosihan Anwar, Sejarah Kecil: La Petite Histoire, Jakarta, Kompas, 2004. h. 81-82.

[7] Veldpolitie: polisi lapangan. Semacam brigade mobil sekarang ini.

[8] Rosihan Anwar, Sejarah Kecil: La Petite Histoire, Jakarta, Kompas, 2004. h. 82

[9] (http://www.bogor.indo.net.id/indonesia tuguperingatanjerman/#atas Diakses tanggal 27 Maret 2007 pukul 08.41.)

(diambil dari http://niasku.blogspot.com/ )

Jumat, 03 Juni 2011

originalitas lompat batu



Bila kita membicarakan nias maka langsung pikiran kita akan membayangkan seorang pria berpakaian adat setempat sedang melayang di atas seonggok batu yang disusun setinggi lebih dari 2 meter. Atraksi lompat batu atau fahombo merupakan sebuah andalan pariwisata dari pulau nias. Membicarakan hal ini mau tidak mau kita harus kembali kepada sejarah panjang perjalanan budaya masyarakat nias.

Berabad-abad lampau, pulau nias yang terletak di sebelah barat Sumatera, terdiri dari beberapa wilayah yang diperintah oleh para landlord atau panglima-panglima perang sebagai bangsawan tinggi, Kedudukan bangsawan itu bukan kedudukan turun temurun, kedudukan itu mereka dapatkan dengan menyelenggarakan pesta menjamu masyarakat atau owasa. Maka semakin sering mereka menyelenggarakan owasa maka semakin kekal dan tinggi pula kedudukan mereka di mata masyarakat, dan biaya mengadakan pesta pesta mereka dapatkan dari hasil jarahan perang.

Untuk memenangkan peperangan bangsawan-bangsawan tersebut memerlukan dukungan pasukan yang kuat, sehingga pada waktu tertentu mereka membuka kesempatan kepada pria-pria muda untuk menjadi prajurit. Bagi kaum pria menjadi prajurit atau anggota pasukan pertahanan merupakan sebuah kehormatan, dengan penghasilan yang lebih bagus dari masyarakat biasa dan membuka kesempatan kelak bila nasib baik menjadikan mereka seorang bangsawan, mencapai kedudukan yang mulia pula.

Menentukan pantas tidaknya seorang pria menjadi seorang prajurit, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan standard, bentuk fisik atau sekedar ilmu bela diri dan ilmu-ilmu hitam, tetapi penentuan akhir, mereka diuji harus dapat melompati sebuah susunan batu setinggi 2,3 m, tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun.